Lembarkisah - Seberapa sering kita menimbang omongan kita sebelum terucap? Boleh jadi ada orang yang tersinggung oleh ucapan kita dan tersakiti hatinya oleh lisan yang tajam ini. Ya mungkin bagi kita itu tak menyinggung, tapi bagi orang lain? Jangan kita samakan diri kita dengan orang lain, setiap orang punya hal yang membuat hatinya tersakiti, mungkin ia bisa tertawa saat bersama kita, boleh jadi ditengah kesendirian ia terluka.
Waduh kenapa nih, tidak biasanya nasehat dan himbauan di paragraf pertama, seakan-akan benar-benar curahan hati bercampur emosi dan kesedihan diluapkan disitu.
Kalimat-kalimat tersebut sejatinya sering kami dengar dari ustadz penanggung jawab kami dulu ketika menjadi pengurus organisasi bahkan hingga ketuanya pun sering menghimbau akan pentingnya hal tersebut.
Setiap yang pernah masuk dalam organisasi, ada beberapa teman mungkin tidak cocok dengan tugas yg diembannya ditambah lagi dengan rekan yang tak terlalu memikirkan perasaan teman tersebut. Mungkin tidak berifat universal akan tetapi yang kami alami ketika di pesantren dulu demikian.
Di pesantren kami, ketika telah menginjak kelas 5 semester 2 maka satu angkatan tersebut akan dilantik dan melanjutkan kepengurusan organisasi santri untuk memastikan kegiatan santri sesuai khittoh. Sama seperti organisasi lain, organisasi kami memiliki banyak bagian dimulai dari ketua hingga berkaitan dengan olahraga dan kesejahteraan santri. Kadangkala ada yg mengurusi satu bagian yang sebenarnya bukan yang ia impikan, ada juga yg yang telah berada di bagian yang ia inginkan akan tetapi tidak di support penuh oleh partner dan bagian lain juga.
Oleh karena itu, ustadz maupun ketua sering menasehati kami untuk lebih sering untuk memposisikan diri kita terhadap orang lain, timbulkan pertanyaan-pertanyaan terhadap diri sendiri, bagaimana kalau aku yang berada di posisi dia berada dalam kesusahan dan tiada siapapun yang mengertinya betapa sedihnya mengalami hal itu, bagaimana ya perasaanku ketika berada di posisi dia akan tetapi orang lain hanya bisa mengkritisi dia yang seharusnya orang lain ikut membantunya.
Kalimat-kalimat diawal tadi hanyalah bentuk kilas balik ke masa kepengurusan dulu, kenapa kami belum bisa memposisikan diri terhadap orang lain, sedihkah ia, terluka kah perasaannya dengan kritikan kami yang mungkin bagi ia itu sebuah cibiran atau lainnya.
Seiring berjalannya waktu, makin kita tahu bahwa ilmu pengetahuan itu mudah dicapai bila dilalui dengan serius dan konsisten, akan tetapi menerapkan ilmu pengetahuan tadi perlu tenaga dan pikiran yang lebih.
.
.
.
.
Teruntuk diriku dan teman-temanku yang kini berpisah sementara untuk nanti berada di puncak kejayaan bersama

