Ujian Komprehensif 1

    


Bagi santri ataupun yang pernah merasakan pengalaman di pesantren sampai tuntas, pastilah tidak asing dengan ujian komprehensif. Itu lho, ujian yang dimana pelajaran dari awal nyantri hingga empat hingga enam tahun di pesantren diujikan. Ujian ini dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu tahriri atau tulis, syafahi atau lisan dsbg. Di ujian syafahi ini aku punya sedikit kisah  menngelitik jiwa apabila dingat-ingat.

    Pada hari itu kelompokku mendapat jadwal untuk melaksanakan syafahi Al-Quran dan fiqih terlebih dahulu. Karena biasanya ujian ini terlihat gampang seperti disaat kami belum menginjak kelas akhir, jadinya kebanyakan dari kami tidak benar-benar belajar karena berfikir ujian ini hanya formalitas belaka.

    Akan tetapi dikarenakan bebrapa teman sebelum kami msuk keruangan dan keluar tak berapa lama setelah itu, kami mulai merasa aneh dengan hal ini. Awalnya kami berhusnuzhon saja,"Ah mungkin yang diujikan gampang, makanya mereka keluar lebih cepat." Tapi ternyata tidak demikian, ternyata mereka ditanya akan kepemilikan buku lebih tepatnya seperti diinterogasi sih. Ekspresi mereka terlihat kesal dan mereka bertanya ini dan itu kepada kami yang belum mendapatkan giliran.

    Kami pun menjadi kalang kabut menyiapkan buku, sikap dan tak lupa mental jika berurusan dengan ustadz ini, yang dikenal tegas terhadap apa pun. Tibalah giliran kami, kami mengucapkan salam dan dipersilakan masuk ke ruang ujian.

   " Tafaddhol ijlisa"Kami berdua dipersilakan duduk.

    Dimulai dengan beberapa pertanyaan formal seperti menyebutkan identitas diri dengan bahasa arab. Lalu mulailah kelengkapan buku kami diperiksa, dan kami setorkan kepadanya.

"Hadza laisa laka, nazhortu min qobl"Ujarnya, ia telah melihat buku yang kami serahkan sebelumnya

Kami pun sedikit panik dan tak tahu harus bersikap apa. Apakah menolak dengan mengucapkan," La ya ustadz wajadtu hadza, wal an hadzal kitab lii." Tidak mungkin kami jawab seperti itu, malah akan panjang sesi ini bersamanya. Beberapa menit kami berlalu dengan diisi ceramah dan nasihat tentang amanah dan menjaga hak milik.

    Tibalah pelajaran selanjutnya, yaitu tajwid. Masing-masing dari kami diminta untuk mebuka Al-Quran dan membaca dengan surah yang berbeda secara bergiliran. Aku kebagian surah maryam, setelah membaca bebrapa ayat begitu pula pemanku, kami diperintahkan perhenti.Lalu aku ditanyai bebrapa hukum tajwid dari ayat yang kubaca tadi.

    "Ahsanta"Ujar sang ustadz

Aku pun berhenti.

    "Ma hukmu hadza?"Ia menunjuk satu huruf

    "Mad wajib"Jawab temanku

    "Ahsanta, jayyid dholal ente"Temanku menjawab salah

    "Anta ma hukmu ha"Tanyanya padaku

    "Mad lazim harfi musyba'"Jawabku

    "Jayyid, musyba' aw musyabba'?"tanyanya lagi

    "Musyba' ustadz"

    "Dari mana kamu tahu, kitab ini?"tanyanya lagi(tapi dalam bahasa arab)

    "Na'am"Jawabku dengan percaya diri, seingatku benar. Lalu ia menunjukkan kitabnya kearahku

    "Ada tasydid di kata ini, nggak mngkin dibaca musyba' pasti musyabba' "Tekannya

    "Jadi apa hukumnya?"

    "Mad lazim harfi musyba' ustadz"

    "qod akhbartu ilaika, hunaka tasydid fi tilka kalimah"Balasnya dengan nada tinggi(sepertimarah lebih     tepatnya)

    "Gimana nanti punya anak, murid, kalau ente kasih tahu yang salah dosa jariyah ente"Perjelasnya lagi

    "Jadi apa hukumnya?"

    "Mad lazi harfi musya' ustadz"Jawabku

Lalu ustadz itu marah lagi.Eh. tidak-tidak aku menjawab benar kali ini.

Waldan Rhafidapala

Mulai menulis sejak berada dilingkungan pesantren, akan tetapi baru memulai blog baru-baru ini agar hidup lebih produktif

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama